Rekayasa Modifikasi Permukaan Serat Protein
Banyak
serat alami, termasuk wol, kasmir dan sutra, adalah bahan berbasis protein;
berat kering wol hampir seluruhnya berasal dari protein (Maclaren &
Milligan 1981). Meskipun biasanya kurang heterogen daripada serat biologis,
berbagai biomaterial berbasis protein yang tersedia juga mengandung berbagai gugus
fungsi yang berasal dari struktur penyusun protein primernya dan sekundernya.
Respon
serat terhadap proses seperti pencelupan dan penyempurnaan berkorelasi langsung
dengan sifat struktural dan kimianya, dan ini terutama berlaku untuk penyempurnaan
yang bersifat pada permukaan. Sebagian besar gugus fungsi pada serat berada
pada permukaannya, sehingga modifikasi permukaan memiliki dampak besar pada
proses dan kinerja serat itu sendiri. Serat keratin seperti wol dan kasmir
memiliki lapisan lipid yang menghasilkan permukaan hidrofobik. Baru-baru ini
berbagai teknologi rekayasa permukaan serat yang inovatif dan baru telah
dikembangkan, banyak di antaranya melibatkan mengubah sifat permukaan dengan menghilangkan
lapisan lipid, sehingga permukaan protein dengan berbagai gugus kimia reaktif
akan berada pada lapisan terluar. Proses penyempurnaan dengan ikatan kovalen
pada permukaan serat akan mengikat lebih baik daripada hanya secara fisik
diterapkan ke permukaan. Hal tersebut menawarkan potensi daya tahan superior
terhadap hasil rekayasa fungsi yang diharapkan.
Perkembangan
teknologi dalam modifikasi permukaan serat protein memiliki sejarah yang cukup
panjang. Termasuk penerapan teknologi plasma, yang dapat memunculkan gugus fungsi
pada permukaan protein, dengan tujuan untuk meningkatkan sifat seperti
keterbasahan permukaan (wet-ability),
kemampuan pada saat proses pencelupan (dye-ability),
ketahanan susut dan ketahanan terhadap terjadinya felting. Penggunaan treatment
menggunakan ozon dengan tujuan mengoksidasi permukaan dan mengubah keseimbangan
ion, dapat menghasilkan permukaan yang lebih reaktif dan dapat menanggulangi
terjadinya susut pada serat protein. Klorinasi meningkatkan karakteristik penyerapan
dan mengurangi penyusutan. Hidrogen peroksida dan asam anhidrida asetil pada
serat sutra dan wol dapat meningkatkan dye
ability, meningkatkan kemampuan ketahanan susut, dan meningkatkan kemampuan
serat agar dapat di treatment. Treatment enzimatik telah digunakan
untuk mendeputasi permukaan dan meningkatkan sifat seperti ketahanan susut.
Perkembangan teknologi terbaru yaitu dengan menggunakan reaksi dari zat kimia
atau molekul bercabang untuk memunculkan gugus reaktif pada permukaan serat, yang
memungkinkan perlekatan pada reaksi smart
treatment dengan ikatan kovalen, atau penguatan gugus reaktif untuk meningkatkan
fungsionalitas bahan tekstil tertentu. Pada Gambar-1, dapat dilihat jenis-jenis
dari modifikasi permukaan serat protein dengan berbagai aplikasi, mulai dari physical modification hingga chemical modification.
Metode Modifikasi Secara Fisika
Pada Serat Protein (Physical Modification)
Dengan
adanya gerakan ramah lingkungan telah memotivasi industri tekstil untuk beralih
dari treatment berbasis cairan
(memiliki limbah cairan) yang melibatkan bahan pencemar dan limbah kimia.
Sehubungan dengan proses pencelupan, sifat modifikasi fisik pada permukaan
serat protein adalah penting dan harus dipertimbangkan untuk dapat diterapkan.
Melalui proses secara fisika (dalam hal ini mengacu pada proses plasma dan UV),
polutan atau limbah berbahaya tersebut dapat
dihindari.
Proses
Modifikasi Dengan Menggunakan Plasma
Treatment menggunakan
teknologi plasma menggunakan aliran listrik ditemukan dapat menimbulkan sifat
permukaan spesifik untuk serat protein (Höcker 2002). Selain hal itu, plasma menawarkan
potensi suatu proses treatment yang
sederhana, bersih, bebas pelarut dan relatif murah. Treatment ini dapat digunakan untuk memodifikasi permukaan dengan
pengendapan polimer atau dapat 'membersihkan' permukaan dengan pengikisan
permukaan. Treatment plasma semakin
menggantikan perawatan tekstil konvensional (berbasis kimia) untuk mencapai
hasil seperti meningkatkan daya celup. Treatment
plasma korona mengoksidasi permukaan tekstil berbasis protein, menghasilkan senyawa
yang aktif secara kimia, menambah gugus fungsi, dan mengikis permukaan (Höcker
2002; Ceria et al. 2010). Höcker (2002) menggunakan gas tertentu pada proses
plasma sehingga dapat menghasilkan pengendapan atom dari gas-gas tersebut,
seperti gas fluor contohnya. Efek dari treatment
plasma terbatas pada permukaan wol, sehingga tidak mungkin menghasilkan
perubahan pada sifat massal yang dihasilkan dari kerusakan pada bagian serat
tersebut.
Dalam
konteks industri tekstil, plasma merupakan produk interaksi antara medan
elektromagnetik dengan gas; yaitu, gas terionisasi sebagian yang mengandung
ion, elektron dan partikel netral (Kan & Yuen 2007). Pada tekanan gas yang
mirip dengan tekanan atmosfer dan tegangan tinggi, korona pada proses plasma
dapat dihasilkan. Pada tekanan gas 0,1-10 MPa dan pada tegangan rendah, akan
muncul berkas cahaya pada plasma tersebut (Rakowski 1997; Kan & Yuen 2007).
Metode glow discharge paling sering digunakan
pada proses plasma tekstil. Banyak treatment
plasma menggunakan sistem tekanan rendah (vakum) digunakan untuk menjaga agar
proses plasma berlangsung stabil, Menurunkan tekanan pada proses plasma juga
membantu dengan efek penetrasi plasma terhadap material tekstil dengan
ketebalan tertentu (Poll et al. 2001). Bagaimanapun sistem plasma tekanan
atmosfer, memiliki keuntungan industri untuk aplikasi tekstil skala besar
karena biaya, waktu dan ruang akan lebih mudah dilakukan(Sugiyama et al. 1998;
Demir 2010). Proses plasma tersebut membutuhkan frekuensi sumber 1-20 kHz dan
gas helium (Prat et al. 2000).
Pada
serat wol, treatment plasma
mengoksidasi dan menghilangkan sebagian (ablates) lapisan permukaan lipid yang
bersifat hidrofobik (baik lipid yang melekat secara longgar dan yang terikat
secara kovalen). Ikatan disulfida di lapisan protein permukaan wol (epicuticle)
juga teroksidasi (Höcker 2002). Permukaan adalah satu-satunya bagian dari serat
yang terpengaruh pada proses plasma, sementara kandungan protein seratnya
hampir tidak terpengaruh oleh proses plasma tersebut (Höcker 2002). Radikal
bebas yang tetap di permukaan wol setelah treatment
plasma ablatif merangsang pembentukan gugus fungsi dan ikatan antara permukaan
serat dengan lapisan coating (Kan
& Yuen 2007).
Hidrofobisitas
dapat menjadi atribut yang diinginkan untuk bahan tekstil tertentu,
memungkinkan peningkatan pencelupan, dan meningkatkan kenyamanan dan sifat
keausan. Permukaan hidrofobik alami pada serat wol membuatnya tidak
memungkinkan untuk dicap treatment
sebelumnya. Treatment plasma
meningkatkan wet-ability, dan juga dapat
mengurangi efek felting pada wol (Kan & Yuen 2007). Hal tersebut dapat
dicapai dengan menghilangkan lipid permukaan (plasma oksigen) atau dengan
pengendapan monomer hidrofilik, seperti pengendapan asam akrilat yang dibantu
plasma (Kutlu et al. 2010). Selain dari sifat pewarna dan pengolahan, laju
pencelupan wol ditentukan oleh morfologi serat dan oleh keadaan air yang terabsorpsi
dalam serat (Ristic dkk. 2010). Sifat-sifat ini dapat dimodifikasi oleh
berbagai treatment permukaan. Ketika
lapisan lipid luar dapat dihilangkan dari serat wol, wet-ability dan dye-ability dapat
meningkat. Treatment dengan menggunakan
plasma dapat menghilangkan lapisan lipid dan menghasilkan gugus fungsi (seperti
tiol) yang lebih reaktif terhadap zat warna tertentu. Corona discharge telah
diteliti dan dapat memasukkan atom oksigen ke dalam serat dan meningkatkan wet-ability, yang meningkatkan
intensitas pewarna asam dari kain yang dicap (Ryu et al. 1991). Penggabungan treatment plasma dengan chitosan telah
ditemukan bahwa dapat menghasilkan peningkatan intensitas warna dan dye-ability pada serat protein (Ristić
et al. 2010).
Proses
Modifikasi Dengan Menggunakan UV/Ozone
Treatment
UV / ozon (UVO) juga dapat menghasilkan efek penyempurnaan tekstil yang dapat
bersaing dengan treatment dengan
mengunakan treatment yang masih
menggunakan water based treatment.
Radiasi UV pada frekuensi tertentu dapat menghasilkan atom ozon dari molekul
oksigen (pada 184,9 nm) dan atom oksigen dari ozon (pada 253,7 nm). Hidrokarbon
organik juga dapat tertarik pada 253,7 nm.
Treatment
permukaan ini menghasilkan wol yang lebih mudah dibasahi (wet-ability meningkat), serta meningkatkan kemampuan bahan dalam
pencelupan dan pencapan bahkan pada suhu rendah (Xin et al. 2002). Wol tersebut
juga dapat menguning, meskipun ini dapat
dikurangi ketika proses ini dikombinasikan dengan pemutihan dengan senyawa
peroksida (Shao et al. 2001). Hal tersebut terjadi karena oksidasi lapisan
permukaan (karena ikatan disulfida rusak). Lipid pada permukaan dapat
dimodifikasi atau diubah-ubah. Hasil treatment
UVO menghasilkan warna dan dyeability
sebanding dengan hasil yang diperoleh setelah proses klorinasi, sehingga dapat
dihasilkan wool yang dapat diproses pada produksi pencapan (Shao et al. 1997;
2001).
Metode Modifikasi Secara Kimia Pada
Serat Protein (Chemical Modification)
Proses
Modifikasi Dengan Pengelantangan (Bleaching)
Pemutihan
(pengelantangan) wol hanya dapat mempengaruhi permukaan serat, tetapi tidak
dilakukan secara khusus untuk menghasilkan permukaan dengan fungsional tertentu,
sehingga Dyer (2011) tidak menyebutkan panjang lebar mengenai proses
pengelantangan ini. Zat yang digunakan dalam pemutihan serat protein termasuk
hidrogen peroksida, natrium borohidrida, natrium bisulfit, tiourea dan asam
oksalat (Arifoglu et al. 1992; Millington 2005; Yilmazer & Kanik 2009).
Pemutihan kadang-kadang dikombinasikan dengan teknik modifikasi permukaan
tambahan seperti pelunturan warna (Chen et al. 2001).
Proses
Modifikasi Woll Dengan Asetilasi
Asilasi
memberikan sifat tahan air pada bahan seperti wol dan sutra. Sutra dan wol
keduanya dapat meningkat sifat tolak airnya dan turun moisture regainnya
setelah proses ini. Asetilasi menghasilkan permukaan wol atau sutera yang dapat
direaksikan dengan chitosan sehingga memiliki sifat antibakteri dan
anti-felting dan kemampuan pewarnaan (dye-ability)
yang unggul dengan cara yang ramah lingkungan (Davarpanah dkk. 2009;
Ranjbar-Mohammadi dkk. 2010).
Proses
Modifikasi Woll Dengan Klorinase
Klorinasi
dilakukan untuk memberikan sifattahan susut pada serat wol, kadang-kadang dalam
kombinasi dengan aplikasi resin seperti Hercosett atau Nopcobond (Van Rensburg
& Barkhuysen 1983; Roeper et al. 1984). Dalam proses industri, cara ini
dinilai tidak ramah lingkungan karena AOX dapat mencemari atau menjadi polusi.
Larutan
klorinasi dapat dihasilkan oleh kombinasi hipoklorit dengan asam sulfat, atau
untuk treatment yang lebih ringan,
gas klor dapat dilarutkan dalam air (Van Rensburg & Barkhuysen 1983).
Klorinasi mempengaruhi lapisan lipid permukaan. Sifat pencelupan juga dipengaruhi
karena peningkatan absorpsi permukaan dan perubahan lapisan lipid pada
permukaan wol (Ottmer et al. 1985; Baba et al. 2001). Perubahan struktur kimia pada
permukaan wol menyebabkan penetrasi pewarna da[at lebih mudah dilakukan (dye-ability meningkat) (Jocic et al.
1993).
Proses
Modifikasi Woll Dengan Potasium Permanganat
Treatment
kalium permanganat pada serat wol menghaluskan kutikula pada permukaan wol. Hal
tersebut diukur dengan menggunakan menggunakan 3D-SEM. Hal tersebut bertujuan
untuk penghilangan sifat felting dan untuk memberikan ketahanan susut. Treatment kalium permanganat memberikan
efek yang lebih merata daripada treatment
menggunakan enzim proteolitik yang sebanding (Bahi et al. 2007).
Proses
Modifikasi Woll Dengan Metode Delipidase (Penghilangan Lipid)
Serat
keratin seperti wol, rambut manusia dan kasmir ditutupi lapisan lipid pada
permukaan luarnya dengan ikatan kovalen yang menghasilkan karakter hidrofobik.
Komponen utama dari permukaan lipid pada serat wol adalah asam
18-methyleicosanoic (18-MEA). 18-MEA melekat pada protein yang mendasari
terutama melalui ikatan tioester kovalen. Berbagai treatment telah dilakukan untuk membelah ikatan thioester untuk
membentuk tiol pada permukaan wol (Meade et al. 2008b). Pembentukan gugus
sulfhidril permukaan reaktif, dengan sulfur dapat bertindak sebagai nukleofil
yang kuat, membuat tirosol ini menjadi lokasi potensial yang menarik untuk
keterikatan kovalen berikutnya dari modifikasi permukaan baru (Meade et al. 2008a).
Sebagian besar penelitian dan pengembangan di bidang ini telah dilakukan dengan
wol, tetapi prinsip-prinsip tersebut memiliki potensi untuk diterapkan pada
serat mamalia lain yang digunakan dalam tekstil.
Serabut-serabut
wol terdiri dari inti sel-sel kortikal yang dikelilingi oleh selubung luar dari
sel-sel kutikel yang tumpang tindih. Setiap kutikel sel tertutup oleh suatu
membran resisten yang disebut epicuticle (Höcker 2000). Epicuticle wol meliputi
kutikula, dan terdiri dari kedua protein dan lipid (asam lemak). Hidrofobisitas
permukaan wol sebagian besar disebabkan lapisan lipid eksternal ini. Komponen
asam lemak lipid dari epicuticle tersebut menyumbang sekitar seperempat massa
epicuticle. Asam lemak tersebut terikat di permukaan serat dan membentuk permukaan
lapisan yang bersifat hidrofobik (Meade et al. 2008b). Asam lemak rantai
bercabang (18-MEA) telah diidentifikasi sebagai komponen lipid utama dari permukaan
wol. Komposisi lipid pada permukaan wol terdiri dari sekitar 65-70% dari 18-MEA
tersebut (Negri et al. 1991; Ward et al. 1993 ). 18-MEA ini secara kovalen
terikat ke permukaan protein melalui hubungan tioester ke sistein, dengan
perkiraan epicuticle berkandungan 35% sistin (Negri et al. 1993; Evans &
Lanczki 1997). Protein yang terikat dengan lipit tersebut membentuk
proteolipid, yang hingga sekarang masih belum dipahami dengan baik
(Dauvermann-Gotsche et al. 1999). Thioesters adalah kelompok yang relatif
reaktif yang dapat dibelah dengan mudah melalui reaksi substitusi nukleofilik.
Jika
lapisan lipid terluar tersebut dilepaskan secara terkontrol, maka dapat
diperoleh permukaan protein sehingga ada berbagai gugus fungsi reaktif pada
serat wol tersebut (termasuk gugus hidroksil, karboksil dan amina) yang dapat
berikatan kovalen yang potensial dari treatment
permukaan. Ada berbagai reagen alkalin yang telah digunakan untuk melepaskan
lipid permukaan dari wol, menghasilkan permukaan hidrofilik dan anionik dengan
peningkatan koefisien gesekan (Dauvermann-Gotsche et al. 2000). Penggunaan
alkohol atau kondisi alkali berair membelah ikatan thioester untuk membentuk
lipid yang digantikan dan tiol pada permukaan epicuticle (Negri et al. 1991;
1993; Dauvermann- Gotsche et al. 2000) Mekanisme kimia untuk substitusi
nukleofilik dari ikatan thioester ditunjukkan pada Gambar-2 [dimodifikasi dari
Meade et al. 2008b].
Proses
Modifikasi Dengan Menggunakan Penyematan Gugus Kovalen
Penerapan
smart treatment dan fungsional yang
spesifik di permukaan untuk memberikan sifat baru pada bahan protein
membutuhkan permukaan yang teraktivasi secara tepat dengan gugus fungsi yang
dapat dimodifikasi. Pengangkatan lapisan lemak pada permukaan serat mamalia
sebelum pemasangan permukaan baru, seperti yang dijelaskan sebelumnya dalam bab
ini, memungkinkan peningkatan aksesibilitas dan fungsionalitas. Penghapusan
lipid, sebagai lawan oksidasi permukaan saja, telah terbukti sangat penting
untuk pengikatan kovalen partikel polimer amina-reaktif (Pille et al. 1998).
Perlekatan permukaan kovalen memberikan kemungkinan daya tahan wear-ability dan pencucian dibandingkan
dengan teknologi konvensional berdasarkan kekuatan ionik atau non-kovalen
lainnya.
Proses
Modifikasi Dengan Menggunakan Deposits/Polymer
Polimer
dan pelapisan permukaan diterapkan pada serat berbasis protein untuk berbagai
alasan. Deposisi lapisan permukaan dapat diperiksa menggunakan XPS atau SEM.
Polietilena glikol telah diterapkan ke berbagai bahan, termasuk wol, untuk
meningkatkan penyimpanan termal, ketahanan terhadap minyak, pilling dan muatan
statis (Vigo & Bruno 1989). Dalam proses pad-cure, glikol ini berikatan
silang dengan dimetilol dihidroksietilena urea dengan adanya katalis asam.
Sifat super-hidrofobik dapat diperoleh untuk campuran wol dan wol menggunakan
pengikatan kimia in situ dari bahan silika dan polisiloksan (Zhang & Lamb
2009). Untuk menghasilkan biomaterial dari fibroin sutra, telah diterapkan poli
cyanuric klorida-aktif (etilen glikol) untuk memberikan peningkatan
hidrofilisitas, morfologi halus (SEM) pada permukaan serat.
Chitosan
sering diterapkan pada serat berbasis protein, karena memiliki karakteristik
dapat mengabsorpsi zat warna asam (Ristic dkk. 2010). Penambahan enzim pada
peroksida alkali telah ditemukan dapat meningkatkan wet-ability wol dan efektivitas biopolimer kitosan yang digunakan. Hal
tersebut juga secara signifikan meningkatkan derajat keputihan serat. Kombinasi
perawatan ini menghasilkan kain wol yang bisa dicuci dengan mesin. Pembentukan
ikatan ion antara gugus sulfonat baru yang dihasilkan pada permukaan serat wol
dan kitosan diyakini berkontribusi terhadap ketahanan susut yang sangat baik.
Namun, jika konsentrasi enzim dalam rendaman peroksida terlalu tinggi,
efisiensi aplikasi chitosan dapat menurun (Jovanĉić et al. 2001). Chitosan juga
lebih baik disimpan pada permukaan wol setelah dilakukan treatment plasma (Ristic dkk. 2010).
Pelapis
polimer yang tahan lama dalam bentuk sol-gel dapat didepositkan pada permukaan
serat. Gel sol anorganik berdasarkan pada oksida yang dimodifikasi dari silika,
titanium, atau oksida anorganik lainnya dapat membentuk lapisan stabil dari
ukuran partikel kecil (<50 nm) yang meningkatkan sifat tekstil berdasarkan
kemampuannya sendiri, dan yang dapat diresapi dengan aditif fungsional yang
disesuaikan seperti sifat peredam UV. Treatment
ini dapat diterapkan pada suhu rendah, selain dari langkah pengawetan suhu
tinggi yang singkat (Mahltig et al. 2005). Tung & Daoud (2009) menemukan
bahwa lapisan serat wol dengan sol anatase titanium dioksida anorganik dibuat
menggunakan asam nitrat (N-sol) atau asam hidroklorat (H-sol). Treatment sol-gel wol ditemukan dapat
mengakibatkan wol menguning; Tung dan Daoud menemukan bahwa efek yang tidak
diinginkan ini hanya dihasilkan setelah perawatan N-sol, kemungkinan karena
sifat oksidatif asam nitrat. Sebaliknya, serat wol yang diperlakukan dengan
H-sol tetap putih dan menunjukkan lapisan permukaan yang merata. Sifat titanium
dioksida yang menyerap UV juga menghasilkan perlindungan UV yang lebih baik
setelah perawatan sol-gel. Yang paling menarik, perawatan dengan sol ini
memberikan sifat self-cleaning
terhadap noda kopi dan anggur pada paparan sinar UV. Lapisan sol-gel pada wol
memicu reaksi fotokatalitik dengan adanya oksigen dan air yang merusak
kromofora dalam noda makanan (Tung & Daoud 2009).
Proses
Modifikasi Dengan Menggunakan Enzim
Berbagai
pendekatan enzimatik juga telah diuji coba untuk modifikasi spesifik serat
protein. Perawatan enzim menawarkan prospek menggantikan proses yang tidak
dapat diterima lingkungan dengan proses yang lebih ramah lingkungan untuk men-treatment serat protein. Penelitian dan
pengembangan ekstensif telah dilakukan dengan teliti untuk pemanfaatan enzim
sebagai bahan antifelting untuk wol, serta untuk meningkatkan warna permukaan
serat (Das & Ramaswamy 2006).
Biopolishing,
atau biofinishing, mengacu pada aplikasi enzim proteolitik pada permukaan serat
untuk menghilangkan komponen serat yang menonjol dan dengan demikian
meningkatkan sifat-sifat seperti pilling dan felting (Durán & Durán 2000).
Protease adalah jenis enzim utama yang digunakan untuk memodifikasi permukaan
serat protein. Protease adalah enzim proteolitik, yaitu mereka bertindak dengan
membelah ikatan peptida. Pemanfaatan enzim protease dapat meningkatkan beberapa
sifat fisik dan mekanik dari serat protein seperti drapeability, afinitas warna
dan daya serap air. Perlakuan dengan enzim proteolitik atau lipolitik dapat
digunakan untuk memperoleh efek pelunakan yang dirasakan dalam serat, dan
pengurangan dalam kekerasan yang dirasakan dalam pegangan, yang dapat dikaitkan
dengan penurunan kekakuan lentur serat melalui degradasi protein struktural.
Keterbatasan perawatan berbasis protease adalah bahwa protease yang terabsorpsi
dapat sulit dihilangkan dari serat yang diolah, dan enzim yang ditahan setelah
pembilasan dan pengeringan telah terbukti menyebabkan degradasi lebih lanjut di
bawah kondisi penyimpanan (Nolte et al. 1996; Durán & Durán 2000).
Potensi Pengembangan Modifikasi
Permukaan Serat Protein Di Masa yang Akan Datang
Tren
global menunjukkan bahwa akan ada permintaan yang berkelanjutan dan meningkat
untuk tekstil cerdas dan fungsional. Selain itu, langkah menuju bahan alami dan
berkelanjutan terus mendapatkan momentum dan secara luas diharapkan menjadi
pendorong utama dalam keputusan konsumen selama beberapa dekade ke depan.
Faktor-faktor ini berarti bahwa modifikasi permukaan yang ditargetkan dari
kedua serat protein alami dan turunan biomaterial mereka untuk memberikan sifat
fungsional dan tahan lama akan terus menjadi area yang berkembang dan menarik dalam
industri serat, tekstil dan biomaterial di dunia.
Kemajuan
terbaru dalam penyematan ikatan kovalen dari permukaan serat dapat memberikan
teknologi platform untuk generasi baru dalam treatment permukaan serat. Untuk biomaterial berbasis protein,
khususnya modifikasi permukaan yang tahan lama, modifikasi-modifikasi tersebut
dapat memberikan potensi untuk mengatasi keterbatasan saat ini, seperti abrasi
rendah dan tahan panas. Diperkirakan bahwa penelitian yang dilakukan pada
modifikasi serat protein, seperti wol dan sutra, akan memiliki aplikasi ke arah
biomaterial tersebut. Namun, penelitian dan pengembangan lebih lanjut
diperlukan sebelum pendekatan ini menjadi layak secara komersial baik untuk
serat protein alami, atau biomaterial protein berserat. Ada kemungkinan bahwa pengaplikasian
teknologi berbasis plasma dan enzim dapat meningkatkan efektivitas biaya,
pemrosesan dengan output yang tinggi, dan mengurangi dampak lingkungan akan
terus mendapatkan popularitas tersendiri pada tren teknologi modifikasi serat
protein.
References
[1] Arai, T.,
Freddi, Innocenti, R., Kaplan, D.L. & Tsukada, M. (2001), Acylation of silk
and wool with acid anhydrides and preparation of water-repellent fibers,
Journal of Applied Polymer Science, 82, 2832-2841. doi: 10.1002/app.2137.
[2] Arifoglu,
M., Marmer, W.N. & Dudley, R. (1992), Reaction of thiourea with hydrogen
peroxide:13C NMR studies of an oxidative/reductive bleaching process, Textile
Research Journal, 62(2), 94-100.
[3] Baba, T.,
Nagasawa, N., Ito, H., Yaida, O. & Miyamoto, T. (2001), Changes in the
covalently bound surface lipid layer of damaged wood fibers and their effects
on surface properties, Textile Research Journal, 71(4), 308-312.
[4] Bahi, A.,
Jones, J.T., Carr, C.M., Ulijn, R.V. & Shao, J. (2007), Surface characterization
of chemically modified wool, Textile Research Journal, 77(12), 937-945. doi:
10.1177/0040517507083520.
[5] Brack,
N., Lamb, R., Pham, D. & Turner, P. (1996), XPS and SIMS investigation of
covalently bound lipid on the wool fibre surface, Surface and Interface
Analysis, 24(10), 704-710.
[6] Canal,
C., Gaboriau, F., Villeger, S., Cvelbar, U. & Ricard, A. (2009), Studies on
antibacterial dressings obtained by fluorinated post-discharge plasma,
International Journal of Pharmaceutics, 367(1-2), 155-161.
[7] Ceria,
A., Rovero, G., Sicardi, S. & Ferrero, F. (2010), Atmospheric continuous
cold plasma treatment: Thermal and hydrodynamical diagnostics of a plasma jet
pilot unit, Chemical Engineering and Processing: Process Intensification,
49(1), 65-69. doi: 10.1016/j.cep.2009.11.008.
[8] Chen, W.,
Chen, D. & Wang, X. (2001), Surface modification and bleaching of pigmented
wool, Textile Research Journal, 71(5), 441-445. doi: 10.1177/004051750107100512
[9] Das, T.
& Ramaswamy, G.N. (2006), Enzyme treatment of wool and specialty hair
fibers, Textile Research Journal, 76(2), 126-133. doi:
10.1177/0040517506063387.
[10]
Dauvermann-Gotsche, C., Korner, A. & Hocker, H. (1999), Characterization of
18- methyleicosanoic acid-containing proteolipids of wool, Journal of the
Textile Institute, 90(3 SI Sp. Iss. SI), 19-29.
[11]
Dauvermann-Gotsche, C., Evans, D.J., Corino, G.L. & Korner, A. Labelling of
18- methyleicosanoic acid cotianing proteolipids of wool with monomaleimido
nanogold, Proceedings of the 10th International Wool Textile Research
Conference, Aachen, Germany, 2000, 1-10.
[12]
Davarpanah, S., Mahmoodi, N.M., Arami, M., Bahrami, H. & Mazaheri, F.
(2009), Environmentally friendly surface modification of silk fiber: Chitosan
grafting and dyeing, Applied Surface Science, 255(7), 4171-4176. doi:
10.1016/j.apsusc.2008.11.001.
[13] Demir,
A. (2010), Atmospheric plasma advantages for mohair fibers in textile
applications, Fibers and Polymers, 11(4), 580-585. doi:
10.1007/s12221-010-0580-2.
[14] Durán,
N. & Durán, M. (2000), Enzyme applications in the textile industry, Review
of Progress in Coloration and Related Topics, 30(1), 41-44. doi:
10.1111/j.1478-4408.2000.tb03779.x.
[15] Evans,
D.J. & Lanczki, M. (1997), Cleavage of integral surface lipids of wool by
aminolysis, Textile Research Journal, 67(6), 435-444.
[16] Höcker,
H. (2000), Fibre morphology. In Crawshaw, G.H., Ed., Wool: science and
technology, Cambridge, Woodhead Publishing Limited.
[17] Höcker,
H. (2002), Plasma treatment of textile fibers, Pure and Applied Chemistry,
74(3), 423-427.
[18] Hossain,
K.M.G., González, M.D., Juan, A.R. & Tzanov, T. (2010), Enzyme-mediated
coupling of a bi-functional phenolic compound onto wool to enhance its
physical, mechanical and functional properties, Enzyme and Microbial
Technology, 46(3-4), 326- 330. doi: 10.1016/j.enzmictec.2009.12.008.
[19] Jocic,
D., Jovancic, P., Trajkovic, R. & Seles, G. (1993), Influence of a
chlorination treatment on wool dyeing, Textile Research Journal, 63(11),
619-626. doi: 10.1177/004051759306301101
[20]
Jovanĉić, P., Jocić, D., Molina, R., Juliá, M.R. & Erra, P. (2001),
Shrinkage properties of peroxide-enzyme-biopolymer treated wool, Textile
Research Journal, 71(11), 948-953. doi: 10.1177/004051750107101103.
[21] Kan,
C.W. & Yuen, C.W.M. (2007), Plasma technology in wool, Textile Progress,
39(3), 121-187. doi: 10.1080/00405160701628839.
[22] Kutlu,
B., Aksit, A. & Mutlu, M. (2010), Surface modification of textiles by glow
discharge technique: Part II: Low frequency plasma treatment of wool fabrics
with acrylic acid, Journal of Applied Polymer Science, 116(3), 1545-1551. doi:
10.1002/app.31286.
[23] Leeder,
J.D. & Rippon, J.A. (1983), Modifying the surface of keratin fibres,
Research Disclosure, 230, 210-211.
[24] Leeder,
J.D. & Rippon, J.A. (1985), Changes induced in the properties of wool by
specific epicuticle modification, Journal of the Society of Dyers and
Colourists, 101, 11-16.
[25] Leeder,
J.D., Rippon, J.A. & Rivett, D.E. Modification of the surface properties of
wool by treatment with anhydrous alkali, Proceedings of the 7th International
Wool Textile Research Conference, Tokyo, Japan, 1985, 312-320.
[26]
Maclaren, J.A. & Milligan, B. (1981), The structure and composition of
wool. In, Wool science - The chemical reactivity of the wool fibre (pp 1-18),
Marrickville, NSW 2204, Australia, Science Press.
[27] Mahltig,
B., Haufe, H. & Böttcher, H. (2005), Functionalisation of textiles by
inorganic sol-gel coatings, Journal of Materials Chemistry, 15, 4385-4398. doi:
10.1039/b505177k.
[28] Meade,
S.J., Caldwell, J.P., Hancock, A.J., Coyle, K., Dyer, J.M. & Bryson, W.G.
(2008a), Covalent modification of the wool fiber surface: The attachment and
durability of model surface treatments, Textile Research Journal, 78(12),
1087-1097. doi: 10.1177/0040517507087852.
[29] Meade,
S.J., Dyer, J.M., Caldwell, J.P. & Bryson, W.G. (2008b), Covalent
modification of the wool fiber surface: Removal of the outer lipid layer,
Textile Research Journal, 78(11), 943-957. doi: 10.1177/0040517507087859.
[30] Millington,
K.R. Continuous photobleaching of wool, Byrne, K., Duffield, P.A., Myers, P.,
Scouller, S. and Swift, J.A., Eds., Proceedings of the 11th International Wool
Research Conference, Department of Colour & Polymer Chemistry of the
University of Leeds, University of Leeds, UK, 2005, 22CCF.
[31] Naebe,
M., Cookson, P.G., Rippon, J., Brady, R.P., Wang, X., Brack, N. & van
Riessen, G. (2010), Effects of plasma treatment of wool on the uptake of
sulfonated dyes with different hydrophobic properties, Textile Research
Journal, 80(4), 312-324. doi: 10.1177/0040517509338308.
[32] Negri,
A.P., Cornell, H.J. & Rivett, D.E. (1991), The nature of covalently bound
fatty acids in wool fibres, Australian Journal of Agricultural Research, 42(8),
1285-1292. doi: 10.1071/AR9911285
[33] Negri,
A.P., Cornell, H.J. & Rivett, D.E. (1993), The modification of the surface
diffusion barrier of wool, Journal of the Society of Dyers and Colourists,
109(9), 296-301. doi: 10.1111/j.1478-4408.1993.tb01579.x.
[34] Nolte,
H., Bishop, D.P. & Höcker (1996), Effects of proteolytic and lipolytic
enzymes on untreated and shrink-resist-treated wool, Journal of the Textile
Institute, 87(1), 212 - 226.
[35] Ottmer,
T.C., Baumann, H. & Fuchtenbusch, D. Physical dyeing parameters of milling
dyes with systematically chlorinated and bleached wool, Proceedings of the 7th
International wool Textile Research Conference., Tokyo, 1985, 131-140.
[36]
Parvinzadeh, M. (2007), Effect of proteolytic enzyme on dyeing of wool with
madder, Enzyme and Microbial Technology, 40(7), 1719-1722. doi:
10.1016/j.enzmictec.2006.10.026.
[37] Pille,
L., Church, J.S. & Gilbert, R.G. (1998), Adsorption of amino-functional
polymer particles onto keratin fibres, Journal of Colloid and Interface
Science, 198, 368-377. doi: 10.1006/jcis.1997.5303.
[38] Poll,
H.U., Schladitz, U. & Schreiter, S. (2001), Penetration of plasma effects
into textile structures, Surface and Coatings Technology, 142-144, 489-493.
[39] Prat,
R., Koh, Y.J., Babukutty, Y., Kogoma, M., Okazaki, S. & Kodama, M. (2000),
Polymer deposition using atmospheric pressure plasma glow (APG) discharge,
Polymer, 41, 7355-7360. doi: 10.1016/S0032-3861(00)00103-8.
[40]
Rakowski, W. (1997), Plasma treatment of wool today. Part 1 - Fibre properties,
spinning and shrinkproofing, Journal of the Society of Dyers and Colourists,
113, 250-255. doi: 10.1111/j.1478-4408.1997.tb01909.x.
[41]
Ranjbar-Mohammadi, M., Arami, M., Bahrami, H., Mazaheri, F. & Mahmoodi,
N.M. (2010), Grafting of chitosan as a biopolymer onto wool fabric using anhydride
bridge and its antibacterial property, Colloids and Surfaces B: Biointerfaces,
76(2), 397-403. doi: 10.1016/j.colsurfb.2009.11.014.
[42]
Rathinamoorthy, R., Sumothi, M. & Jagadesh, S. (2009), Plasma technology
for textile surface enhancement, Textile Asia, 40(11), 21-23.
[43] Ristić,
N., Jovančić, P., Canal, C. & Jocić, D. (2010), Influence of corona
discharge and chitosan surface treatment on dyeing properties of wool, Journal
of Applied Polymer Science, 117, 2487-2496. doi: 10.1002/app.32127.
[44] Roeper,
K., Foehles, J., Peters, D. & Zahn, H. (1984), Morphological composition of
the cuticle from chemically treated wool - part II: the role of the cuticle in
industrial shrink proofing processes, Textile Research Journal, 54(4), 262-270.
doi: 10.1177/004051758405400408
[45] Ryu, J.,
Wakida, T. & Takagishi, T. (1991), Effect of corona discharge on the
surface of wool and its application to printing, Textile Research Journal,
61(10), 595-601. doi: 10.1177/004051759106101006
[46]
Schumacher, K., Heine, E. & Höcker, H. (2001), Extremozymes for improving
wool properties, Journal of Biotechnology, 89(2-3), 281-288. doi:
10.1016/s0168- 1656(01)00314-5.
[47] Shao,
J., Hawkyard, C.J. & Carr, C.M. (1997), Investigation into the effect of
UV/ozone treatments on the dyeability and printability of wool, Journal of the
Society of Dyers and Colourists, 113(4), 126-130. doi:
10.1111/j.1478-4408.1997.tb01884.x.
[48] Shao,
J., Liu, J. & Carr, C.M. (2001), Investigation into the synergistic effect
between UV/ozone exposure and peroxide pad—batch bleaching on the printability
of wool, Coloration Technology, 117(5), 270-275. doi:
10.1111/j.1478-4408.2001.tb00074.x.
[49]
Sugiyama, K., Kiyokawa, K., Matsuoka, H., Itou, A., Hasegawa, K. &
Tsutsumi, K. (1998), Generation of non-equilibrium plasma at atmospheric
pressure and application for chemical process, Thin Solid Films, 316(1-2),
117-122.
[50] Taki, F.
(1996), Surface treatments of wool by potassium hydroxide in dehydrated
butanol, Sen'i Gakkaishi, 52(9), 500-503.
[51] Tung,
W.S. & Daoud, W.A. (2009), Photocatalytic self-cleaning keratins: A
feasibility study, Acta Biomaterialia, 5(1), 50-56. doi:
10.1016/j.actbio.2008.08.009.
[52] Van
Rensburg, N.J.J. & Barkhuysen, F.A. (1983), Continuous shrink-resist
treatment of wool tops using chlorine gas in a conventional suction-drum
backwash, SAWTRI Technical Report, 539, 22p.
[53] Vepari,
C., Matheson, D., Drummy, L., Naik, R. & Kaplan, D.L. (2010), Surface
modification of silk fibroin with poly(ethylene glycol) for antiadhesion and
antithrombotic applications, Journal of Biomedical Materials Research - Part A,
93(2), 595-606. doi: 10.1002/jbm.a.32565.
[54] Vigo,
T.L. & Bruno, J.S. (1989), Improvement of various properties of fibre
surfaces containing crosslinked polyethylene glycols, Journal of Applied
Polymer Science, 37(2), 371-379. doi: 10.1002/app.1989.070370206.
[55] Ward,
R.J., Willis, H.A., George, G.A., Guise, G.B., Denning, R.J., Evans, D.J. &
Short, R.D. (1993), Surface analysis of wool by X-ray photoelectron spectroscopy
and static secondary ion mass spectrometry, Textile Research Journal, 63(6),
362-368.
[56] Xin,
J.H., Zhu, R.Y., Hua, J.K. & Shen, J. (2002), Surface modification and low
temperature dyeing properties of wool treated by UV radiation, Coloration
Technology, 118(4), 169-173. doi: 10.1111/j.1478-4408.2002.tb00095.x.
[57] Xu, B.,
Niu, M., Wei, L., Hou, W. & Liu, X. (2007), The structural analysis of
biomacromolecule wool fiber with Ag-loading SiO2 nano-antibacterial agent by UV
radiation, Journal of Photochemistry and Photobiology A: Chemistry, 188(1),
98-105. doi: 10.1016/j.jphotochem.2006.11.025.
[58]
Yilmazer, D. & Kanik, M. (2009), Bleaching of wool with sodium borohydride,
Journal of Engineered Fibers and Fabrics, 4(3), 45-50.
[59] Yoon,
N.S., Lim, Y.J., Tahara, M. & Takagishi, T. (1996), Mechanical and dyeing
properties of wool and cotton fabrics treated with low temperature plasma and
enzymes, Textile Research Journal, 66(5), 329-336. doi:
10.1177/004051759606600507.