Mengenal Berbagai Anyaman, Tradisi Masyarakat Lahan Basah Nusantara
Menganyam merupakan salah satu tradisi yang masih bertahan dan dikenal oleh banyak masyarakat di Nusantara. Anyaman sendiri berarti serat yang dirangkaian untuk membentuk benda yang kaku, seperti berbagai barang rumah tangga maupun untuk pakaian.
Bahan baku anyaman yang berlimpah tradisi ini hingga kini masih banyak dijumpai di berbagai daerah, seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Bahan baku anyaman berasal dari serat purun, pandan berduri, rotan, bambu, serta berbagai kulit tanaman kayu dan resam, yang tumbuh di lahan gambut maupun lahan basah. Setidaknya itulah yang ditampilkan pada pameran komoditas masyarakat pada Jambore Masyarakat Gambut se-Indonesia yang diadakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) di Jambi pada tanggal 5-7 Oktober 2016.
Dari Sumatera Selatan, anyaman yang dipamerkan berbahan baku purun (Eleocharis dulcis), sejenis rumput atau gulma yang banyak tumbuh di di wilayah gambut.
Menganyam purun telah menjadi tradisi masyarakat sejak dahulu. Purun umumnya dijadikan tikar, topi, serta tempat bumbuan dapur dan ikan. Bahkan hingga sekarang, tikar purun masih menjadi sumber pendapatan di Pedamaran dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
“Sebenarnya anyaman bukan hanya purun, juga pandan duri, rotan dan bambu. Tapi karena bahan baku rotan, pandan duri dan bambu mulai berkurang dan kalah bersaing dengan anyaman plastik, hanya purun yang masih dimanfaatkan,” jelas Ruslah (70), pengrajin dan petani asal Desa Ulakkemang, Kecamatan Pampangan, Kabupaten OKI, Sumsel.
Menurut Ruslah, adanya permintaan membuat para pengrajin purun di OKI bukan hanya membuat tikar, tapi juga tas, dompet, dan lainnya.
Pewarnaan yang digunakan yakni sumbo —pewarna dari bahan alami—seperti warna merah dari kulit manggis, warna kuning dari kunyit, dan hijau dari pandan.
“Tapi karena kesulitan bahan baku pewarna alami, seperti kian habisnya pohon manggis, ada sebagian pengrajin menggunakan pewarna kimia,” katanya.
Para pengrajin anyaman masyarakat gambut dari Jambi dan Riau hampir sama menampilkan produk. Selain berbahan baku purun, pandan duri, rotan, juga bambu. Mereka selain memamerkan tikar, juga tas, dan tempat-tempat bumbu dapur.
Tradisi anyaman juga berkembang pada masyarakat Melayu dan Dayak, baik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Berbeda dengan Sumatera, bahan baku yang banyak digunakan rotan dan pandan duri.
“Anyaman merupakan tradisi yang ditemukan pada semua masyarakat lahan basah atau gambut di Kalimantan,” jelas Fajri Nailus Subchi, direktur SAMPAN Kalimantan.
Produk yang dikembangkan masyarakat gambut di Kalimantan, mulai dari peralatan rumah tangga, perhiasan, hingga peralatan pendukung pertanian dan perikanan seperti alat penangkap ikan, wadah ikan, topi, wadah hasil panen, dan lainnya.
Demikian pula di Papua. Menurut Onesimus Weraku, warga Sorong Selatan, Papua Barat, anyaman di daerahnya paling banyak menggunakan daun pohon sagu.
“Daunnya dianyam dan dijadikan ikat pinggang, juga kain yang digunakan untuk tarian,” katanya. “Kulit daun belinjo juga dapat digunakan tali pinggang dan lainnya,” lanjutnya.
Persamaan Tradisi dan Budaya Masyarakat Gambut
Tidak saja dari tradisi menganyam. Masyarakat yang tinggal di lahan basah atau gambut di Nusantara juga memiliki persamaan dari tradisi kulinernya.
Misalnya perihal pengelolaan ikan. Hampir semua perwakilan masyarakat gambut yang ikut jambore, mengenal pengasapan ikan atau yang dikenal sebagai selai ikan. Begitu juga pengolahan madu, gula aren, serta pengolahan sagu dan asempayo.
“Tradisi anyaman maupun kuliner yang memiliki kesamaan tersebut membuktikan masyarakat gambut di Indonesia sejak ratusan tahun lalu memperlakukan gambut dengan arif,” jelas Fauzan, seorang antropolog yang kini bekerja di sebuah lembaga pemerintah di Jambi.
Menurut Fauzan, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini yakni membangun pasar bagi produk-produk masyarakat gambut yang ramah lingkungan tersebut. Untuk tahap pertama, menurutnya pasar dalam negeri pun potensinya cukup besar untuk menampung produk masyarakat tersebut.
“Caranya menampung semua produk tersebut dengan harga yang baik. Kemudian mewajibkan semua pasar swalayan atau mall untuk memberikan ruang bagi penjualan produk tersebut,” kata Fauzan.
Dijelaskan Fauzan, akan lebih efektif jika masyarakat diarahkan pada pengembangan berbagai potensi ekonomi di lahan gambut daripada memaksakan pertanian intensif dan monokultur yang teknologinya belum banyak dikuasai, bahkan berpotensi merusak lahan gambut.
Sementara Dede Shineba Dinamisator BRG Sumatera Selatan mengungkapkan, pengelolaan lahan gambut oleh masyarakat pada akhirnya akan meningkatkan rasa keadilan masyarakat yang mendapat kepercayaan pemerintah.
“Sebab pemerintah kan juga tetap mempercayakan lahan gambut dikelola swasta (perusahaan). Hanya, pengelolaan tersebut tidak lestari. Jika masyarakat mampu mengelola secara baik, artinya harus juga diizinkan,” ujar Dede.
“Untuk jenis tanaman yang dikembangkan masyarakat, tentunya yang tidak merusak lahan gambut sekitarnya, tata kelola lahan yang baik, dan pengelolaan yang tidak menimbulkan kebakaran. Perkebunan kopi tampaknya cukup baik di lahan gambut.”
Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang, menilai pemerintah dalam hal ini BRG jangan buru-buru mendorong pengembangan bisnis masyarakat gambut.
“Cepat itu perlu, tapi jangan buru-buru. Sebab bukan tidak mungkin upaya bisnis dalam mengelola gambut oleh masyarakat justru menjadi boomerang restorasi gambut, karena mungkin ada pihak yang menunggangi atau mendorong perambahan lahan,” jelasnya.
“Yang perlu justru mendorong pembentukan atau pengembangan pasar dari produk masyarakat lestari yang sudah ada.”